D day minus 2 from The Big Game. Aku menatap bidang persegi panjang beberapa meter di depanku sementara titik putih di bawah kakiku sudah agak memudar warnanya seiring waktu yang berjalan dan kaki-kaki kotor yang melintasi tubuhnya.
Jelas sekali kalimat sok bermakna di atas menggambarkan sebuah titik penalty pada sebuah lapangan sepak bola (ok ok mungkin gak sejelas itu gambarannya pada kalimat diatas) soalnya gak mungkin ada kayak begitu di kantor kelurahan misalnya kecuali Pak Lurahnya lagi iseng bikin lapangan bola di kantornya. Asli, gak ada kerjaan banget tuh Pak Lurah menghamburkan uang rakyat jelata (ehm... sok idealis nih). Tapi mungkin juga Pak Lurah membangun kantornya di atas lapangan bola yang baru digusur (make sense). Ah sudahlah, gak ada penting-pentingnya ngebahas Pak Lurah, lupain ajah.
Aku disini masih melakukan latihan terakhir sebelum the big game yang dua hari lagi akan aku ikuti di Jakarta. Sebuah pertandingan penentuan (baca: final) antara kesebelasanku melawan Persija-Ateng (Perserikatan Sepakbola Jakarta Agak Tenggara... btw dimana tuh ??) untuk memperebutkan gelar jawara (baca: juara, bukan jagoan atawa centeng musuh Si Pitung jaman Belande dulu) pada Bank Jos Liga Indonesia yang disponsori oleh Bank Jos (bukan Bang Yos a.k.a Bang Sutiyoso tapi Bank Jos sebuah bank milik Bang Joshua seorang mantan artis cilik yang sekarang menjadi konglomerat).
Tidak terasa (ralat... agak terasa sih) sudah 1 tahun aku berada di sini sebagai pemain bola professional (baca: digaji yang hanya cukup untuk makan sama ngontrak rumah tipe 45, lumayan lebih bagus dari RSS ? Rumah Sangat Seadanya). Aku menjadi seorang striker kesebelasan Persekasle (Perserikatan Sepakbola Kabupaten Sleman), sebuah klub sepakbola di kota kelahiranku, Kabupaten Sleman. Yang belum tau Sleman ada dimana, pernah ke Yogya naek pesawat? Nah Bandara Adisucipto ada di Sleman, bukan di Yogya.
Pertandingan kali ini terasa sangat berat untukku karena selain partai 2 hari lagi merupakan partai puncak namun lebih lagi karena lawannya adalah Persija-Ateng yang setahun lalu merupakan klub tempat aku bermain. Ya, setahun lalu sebelum aku memutuskan untuk kembali ke kota asalku.
Aku kembali melihat titik putih itu, namun kali ini tergeletak seonggok bola (pemilihan pronoun yang salah pada kata 'seonggok', pronoun 'sebutir' tampaknya semakin salah. Jangan ditiru karena berdampak buruk pada nilai raport Bahasa Indonesia anda!). Mundur tiga langkah, ancang-ancang, selangkah, dua langkah, tendang, dan... GOL.
Mudah. Tandangan yang sangat mudah (survey yang tidak ketahui sumbernya mengatakan bahwa kemungkinan gol pada sebuah tendangan penalty adalah 85%, so the 15% is bad luck). Selama setahun ini aku selalu melakukan latihan tendangan penalty setelah latihan rutin sore aku lakukan bersama teman-teman klub yang lain. Sayangnya latihan tendangan penalty ini belum pernah terlihat manfaatnya pada pertandingan liga sebab aku tidak pernah mengeksekusi tendangan penalty selama setahun terakhir ini, tidak setelah kejadian itu, kejadian yang menyebabkan aku kembali ke kota kelahiranku dan bergabung dalam Persekasle.
Flashback / D day minus 1 year and 2 days from The Big Game Hujan menghiasi Gelora Bung Karno (kata 'menghiasi' hanya kiasan, jadi jangan menghias kamar anda dengan hujan sebab berdampak buruk bagi kesehatan!). Sepertinya partai final Bank Jos Liga Indonesia tahun ini antara Pesija-Ateng sang juara bertahan melawan Perseatagam (Perserikatan Sepakbola Aceh Tanpa GAM) akan dilangsungkan dengan hiasan hujan (sekali lagi, hujan bukan hiasan kamar! Catet!).
Aku baru saja selesai bersiap-siap di ruang ganti pemain. Menguncir rambut panjangku dengan karet pink kebanggaanku (pink? bangga? Ok I'm a weirdo) lalu berkaca untuk melihat apakah aku sudah tampak ganteng. "Udah siap Joe?" aku dikejutkan oleh pertanyaan Santos teman se-klubku. "Elu Tos? Gue kirain siapa. Ngagetin aja lo. Gak liat apa gue lagi konsen dandan?" "Ah tampanglo Joe! Kayak seleb aja dandan segala. Kasian tuh cermin. Kalo bisa nangis, nangis deh dia setiap hari elo kecengin gak jelas gituh Gak akan jatuh cinta tuh cermin ma elo. Percuma!" "Rese lo Tos! Jangan samain gue ma lo lah. Lo sih mau diapain tetep aja item bluek gitu. Retak kali cermin kalo lo dandan." "Sembarangan lo Joe. Gini-gini banyak yang nge-fans ma gue." "Iye bener tapi dari kampunglo semua tuh. Papua." "Sompret! Udah ah, gak menang gue debat ma elo." "Ih siapa yang debat. Kenyataan lagi!" "Udeh. Udeh. Tuh kita dah dipanggil Si Mister. Mo briefing." "Iye. Bawel! Yuk ah!"
Sejenak aku melirik cermin untuk melihat pungungku sambil ngeloyor keluar untuk briefing. Terlihat tulisan besar berwarna hitam. Nomor 10 terpampang dengan namaku tertulis di atasnya "Soedjono".
Di ruang briefing semua pemain sudah siap mendengarkan wejangan dan pepatah (ralat, maksudnya sepatah dua patah kata) dari Mister Korchev pelatih kami asal Slovakia yang sudah 3 tahun terakhir ini melatih kami dan mengantarkan kami menjadi juara liga selama 2 tahun berturut-turut. Mister Korchev mulai memberikan kata sambutannya untuk menyemangati kami. "Here we are waiting for the 3rd title in a row. There's nothing to fear of. You are a champion. And you will always be. So, act like a champion and beat those loosers out there!" "Yeahh," seluruh pemain berteriak manjawab kobaran semangat dari Mister. Seluruh pemain keluar menuju lapangan dan aku-pun sudah hampir keluar sebelum Mister memanggilku. "Joe!" "Yes Mister," aku menghentikan langkahku lalu berbalik ke arahnya. "You are my best player. My proud. Don’t let me down. One thing I want from you." "..." "Make a score!" "You can count on me, Mister." "I believe you."
Suara bergemuruh menggema si seluruh angkasa Gelora Bung Karno (cieh bahasanya... ) ketika aku keluar dari ruang ganti dan hampir seluruh penonton meng-eluk-elukan sebuah nama. "We want Joe. We want Joe. We want Joe." Saat aku sampai di dalam lapangan seluruh penonton berdiri dan bersorak sambil bertepuk tangan. Sebagian teenager yang tentunya wanita mulai berteriak dan screaming menanggil namaku. "Joe! Joe! I love You! Aaaaaaaaaa!" (kata yang terakhir dilagukan, ehm salah, bukan dilagukan tapi yang jelas kata terakhir tidak layak untuk didengarkan dalam jarak 1 meter dari telinga anda. Women, don't try this at home!)
Aku tenar dengan nama Joe. It's ok, aku tidak keberatan sama sekali mengingat Soedjono nama asliku tidak bisa dibilang cool sama sekali. Dengan kulit putih, tinggi 180 cm, body atletis dengan six pack mengukir perutku (kiasan… kiasan… gak mungkin perutku diukir kayak ukiran Jepara), rambut hitam legam (bayangkan iklan Sunsilk), dan yang pasti puluhan gol yang aku koleksi dan menjadi prestasi yang sulit disaingi menjadikan aku sangat populer di mata semua pecinta sepakbola terutama wanita. Aku layaknya David Backham-nya Indonesia yang dicintai oleh penggemarnya seperti selebritis. Iklan sabun (bukan! Bukan iklan sabun yang itu!), shampoo, parfum, cukur jenggot, deodorant, minuman penambah tenaga, bahkan iklan celana dalam yang aku perankan semakin membuatku terkenal. Walaupun gossip-gossip mulai menerjangku dari mulai kedekatanku dengan seorang penyanyi yang kebetulan janda sampai gossip mengenai kehebatan kakiku yang disebabkan oleh susuk berlian di kakiku, itu semua tidak mengurangi ketenaran namaku bahkan aku terbantu dengan gossip-gossip itu yang membuat aku semakin terkenal dan sering masuk televisi.
Pertandingan dimulai. Disini, aku yang menyandang gelar kapten sekaligus striker kesebelasan Persija-Ateng mulai mengkomandoi (bukan istilah dalam militer) teman-temanku untuk menekan pertahanan Perseatagam dengan sistem total football yang menjadi ciri khas Persija-Ateng. Menit-menit pertama berjalan alot. Perseatagam yang menggunakan sistem all defence dengan pola 7-2-1 (maen bola ato buat benteng mas?) sangat sulit untuk ditembus pertahanannya. Namun kami tetap melakukan gempuran-gempuran berbahaya yang mengancam Teuku Johar, kiper sekaligus kapten dari Perseatagam sampai hampir babak pertama selesai.
Sambus, sang komentator khusus partai final terus berkoar dengan semangat 45. "Ponirin terpidana, eh maaf maksud saya Ponirin melakukan umpan lambung. Ketengah. Ada Sumardin disana. Sumardin gocek kanan-kiri sambil menari balet. Sumardin lolos dari kepungan Hamid dan Hamad dua kakak beradik. (who cares?) Oper bola kepada Santos. Santos mengedipkan mata ke arah pendukungnya yang asal Papua. (kok sempet ya?) Pendukung Santos memberikan ciuman jauh. Ah hampir saja bola terebut dari Santos oleh Basyir, untung saja Narno segera menoyor Santos yang sibuk bermain dadah-dadahan sama penggemarnya. Santos berlari ke sayap dengan secepat kilat. Lewat satu pemain sayap Perseatagam. Lewat dua. Santos dikawal sweeper. Bukan bodyguard. Tapi badannya gede. Santos melakukan umpan lambung ke tengah. Bola berbelok seperti pisang. Disana ada striker ganteng Joe. Joe melompat. Sebuah tendangan sepeda. (maksudnya bicycle shoot) Dan Goooooooooooool!!! Sebuah gol yang indah dari striker ganteng Joe yang disambut oleh teriakan bergemuruh. Saudara-saudara... gol ini merubah status quo menjadi 1-0 untuk Persija-Ateng."
Babak pertama selesai, kedudukan masih 1-0 untuk Persija-Ateng. Kami kembali keluar untuk bermain di babak kedua setelah 15 menit waktu istirahat selesai. Seperti biasa, teriakan-teriakan 'We want Joe' berubah menjadi sorak-sorai ketika aku memasuki lapangan.
Masih seperti babak pertama, pertahanan all defense dari Perseatagam tetap sulit kami tembus. Dengan memakai kunci cataneccio, defense yang dipopulerkan oleh kesebelasan nasional Italia, mereka sepertinya menunggu serangan balik untuk membuat gol.
30 menit setelah babak kedua berlangsung, kejutan terjadi. Sebuah kesalahan oper pada pemain belakang Persija-Ateng di dekat gawang membuahkan sebuah tendangan pojok. "Tendangan pojok dilakukan oleh Hamid. Ambil ancang-ancang. Melambung ke arah kanan gawang. Hamad kakaknya Hamid menyambut bola dengan kepala. Sundul saja. Kiper Irvan Cahya salah langkah. Dan Gooooooooooool," Sambus masih dengan semangat 45 mengomentari gol balasan yang diciptakan oleh Hamad, pemain tengah Perseatagam kakaknya Hamid. (aduh pake ikut-ikutan Sambus lagi, gak penting banget Hamad kakaknya siapa.)
Sebuah kesalahan fatal yang membuat kedudukan menjadi 1-1 membuat kami cukup panik dan lebih keras menggempur pertahanan Perseatagam. Gagal maning gagal maning. Memang pertahanan Perseatagam terlalu sulit untuk ditembus. Babak kedua sudah masuk ke waktu cedera (baca: injury time), dan sepertinya aku harus melakukan sebuah gebrakan untuk membuat sebuah gol dengan kemampuan drible-ku yang sulit untuk dihadang. Sambus kembali berkomentar ketika aku mulai membawa sendiri bola ke dalam kotak penalty. "Striker ganteng Joe membawa bola. Hamid menghadang. Joe gocek kanan-kiri. Masih belum lewat. Striker ganteng Joe melihat ke atas. Hamid ikutan. Oh rupanya sebuah tipuan. Striker Joe lepas dari hadangan. Joe melesat masuk kotak penalty. Berhadapan langsung dengan kiper Teuku Johar. Hamid mengejar Joe dari belakang. Sliding tackle. Dan Oooooooh striker ganteng Joe tergeletak di dalam kotak penalty. Wasit Kulina dari Bandung meniup peluit dan menunjuk titik penalty. Penalty rupanya Saudara-Saudara."
Aku bangun dari tidurku (masih di lapangan bola, bukan di kamar tidur) kemudian mengambil bola, mengusap-usapnya untuk menghilangkan tanah yang menempel. Aku memegang bola yang basah (karena hujan, inget?) kemudian membawanya dan meletakkannya di titk putih.
"This is it. I'm gonna make a score to win this game," aku berkata dalam hati sementara Sambus mulai melakukan alasan kenapa dia dibayar (ya komentar bukan jualan pisang). "Saudara-saudara kita lihat striker ganteng Joe sudang mengambil ancang-ancang. Dia berlari kecil. Siap menendang bola. Kaki kiri Joe terpeleset Namun kaki kanannya menyentuh bola Bola bergulir pelan ke arah kiper. Secepat kilat Teuku Johar menendang bola lambung langsung ke depan. Bola melambung ke depan menuju kotak penalty Persija-Ateng. Hamad mengejar bola. Bola dikejar Hamad. Sebuah tendangan volley geledek. Dan Gooooooooooooool. Saudara-saudara…. Kedudukan berubah menjadi 2-1 untuk Perseatagam. Dan bersamaan setelah itu wasit meniup peluit panjang.tanda pertandingan selesai." Aku terduduk, tak mampu untuk bergerak. Mataku melihat titik putih di depanku. Dunia seakan sepi, suara gemuruh tak terdengar. Aku masih terdiam, tak mampu bergerak, kepalaku terasa berat kemudian semuanya menjadi gelap.
Back to Present / D day of The Big Game Aku menatap titik putih itu lagi. Titik putih yang sudah lama tidak aku hadapi selama satu tahun ini. Titik putih itu, yang membawa kenangan buruk satu tahun yang lalu, same day, same game, different year. Kenangan buruk kembali melintas. Teringat bagaimana aku menjadi pecundang setelah gagal mengeksekusi tendangan penalty karena sebuah stupid thing, kepeleset. Titik putih itu mengubah karirku, ketenaranku, jalan hidupku. Masih teringat cemooh semua orang yang semula begitu memujaku. Saat itu semua membenciku bahkan 'Ball' sebuah tabloid sepakbola nomor satu di Indonesia memampangkan dengan besar fotoku saat terpeleset pada halaman utamanya dengan judul besar tertulis "Stupid Player of The Year".
Aku menaruh bola di titik putih itu kemudian melihat ke arah pendukungku dari Sleman. Mereka yang masih setia denganku, yang membuatku bisa bangkit kembali sampai bisa berada di sini lagi, di big game ini. Teringat bagaimana seluruh pendukung Persija-Ateng setahun yang lalu mencemooh aku, dan hal itu membuat management Persija-Ateng tidak memperpanjang kontrakku untuk bermain di klub mereka. Aku dibuang seperti sebuah puisi Chairil Anwar,
Aku binatang jalang Dari kumpulan yang terbuang.
Setahun yang lalu aku kembali ke kampung halamanku. Untunglah Persekasle masih mau menerima aku sebagai pemain mereka. Kesempatan dan kepercayaan itu tidak aku sia-siakan. Disini aku, berhasil membawa kesebelasanku mencapai partai final dengan aku sebagai top scorer sementara liga ini. Dan saat ini aku menghadapi kesebelasan yang dulu sempat membuatku terkenal walau akhirnya membuat aku terbuang.
Aku menatap bola itu yang tergeletak diatas titik putih. Saat ini pertandingan yang sama ketat membawa kami ke adu penalty. Score sementara 5-5 sama imbang dan aku dipercaya melakukan eksekusi tendangan penalty yang terakhir. Apabila aku berhasil melakukannya Persekasle akan memenangkan the big game dan menjadi jawara baru. Aku mengambil ancang-ancang. Mengambil nafas panjang. Berlari kecil. Dan ..
Go to The Future / D day plus 2 years and 2 month after The Big Game Bandara Soekarno Hatta Terminal Kedatangan Luar Negeri. Aku menoleh kanan-kiri mencari sesosok wanita, wanita cantik yang merupakan tunanganku. Hari ini aku pulang ke Indonesia setelah 2 tahun menuntut ilmu di Auckland University of New Zealand. Dengan bangga aku pulang kembali ke Indonesia, dengan membawa gelar Bachelor dengan majoring Nuclear Engineering. Tentu saja aku bangga pulang ke Indonesia sebab aku berhasil lulus dengan predikat cum laude dan dalam waktu hanya 2 tahun, lebih cepat 1 tahun dari seharusnya, selain itu aku langsung diterima menjadi asisten dosen di Auckland University, mengajar mata kuliah Nuklir Terapan.
Seminggu lagi adalah hari yang aku tunggu-tunggu, hari dimana aku akan mengucapkan ijab kabul di depan penghulu untuk menjadikan Ranti tunanganku untuk menjadi istriku. Rencananya setelah cuti 1 bulan aku akan kembali ke New Zealand bersama istriku untuk tinggal di Auckland dengan tentu sebelumnya menghabiskan bulan madu di Christchurch, sebuah kota indah di South Island New Zealand. "Hey keledai jangkung!" aku mendengar suara seorang wanita yang aku hafal sebagai suara dari Ranti tunanganku. "Halo kelinci kecilku!" Aku mendatanginya, memeluknya, dan mengecup keningnya. "Sorry. Lama ya nunggunya? Maklum deh, namanya juga Jakarta. Macet." "Gak papa sayang." "Capek ya?" "Lumayan deh. 7 jam di pesawat dari Sydney ke Jakarta." "Lho, kok dari Sydney?" "Transit." "Ooh." "…" "Mamah-Papah udah nunggu tuh di rumah. Kangen katanya." "Ya udah, kita cabs aja yuk!" "Oke deh. Yuk keledai jangkungku." Dan aku menggandengnya sambil tersenyum.
Keledai jangkung. Nama kesayangan yang khusus Ranti berikan untukku. Aku cinta nama itu, mungkin karena Ranti yang membuatnya, tapi memang sebenarnya nama itu cocok untukku, sebab hanya keledai dungu yang pernah mengulangi kesalahan bodoh yang sama untuk kedua kalinya, kepeleset saat melakukan tendangan penalty di partai final yang menentukan.
Aku melangkah dengannya, Rantiku, pujaan hatiku, the reason I live for. Dia wanita yang telah menghibur dan membesarkan hatiku, mendukungku, dan menyarankan aku untuk meninggalkan dunia sepakbola dan menjalani kuliah di luar negeri, sebuah impian sempat terkubur sejak aku disilaukan oleh dunia ketenaran sebagai seorang pemain sepakbola merangkap selebritis. Namun dua kejadian memalukan itu membuatku berpikir bahwa sepakbola bukan duniaku dan saatnya untuk mengejar impian yang lain. Saran Rantilah yang mengantarkan aku menjadi sukses seperti ini, walaupun tidak tenar seperti selebritis, namun setidaknya sekarang orang memandangku dengan pandangan berbeda. Bukan pandangan seorang gadis kepada David Beckham pujaannya, namun pandangan kepada seorang pemuda terpelajar yang mempunyai kecerdasan luar biasa dengan prestasi yang membanggakan. Sejujurnya aku masih teringat titik putih itu, namun semuanya sudah lewat. Aku tinggalkan semua kenangan buruk akan titik putih itu sebab aku yang kini telah berubah. Aku, seekor keledai dungu yang kepeleset untuk kedua kalinya saat melakukan tendangan penalty di partai penentuan, The Stupid Man of The Year, hari ini berubah menjadi Bachelor of Nuclear Engineering, asisten dosen Nuklir Terapan di Auckland University, The Brightest Man of The Year.
* * * * *
(Jakarta, 13 Maret 2005, pangerankucing a.k.a Krisna Aditya, menulis lagi karena Vanilla)
D day minus 2 from The Big Game. Aku menatap bidang persegi panjang beberapa meter di depanku sementara titik putih di bawah kakiku sudah agak memudar warnanya seiring waktu yang berjalan dan kaki-kaki kotor yang melintasi tubuhnya.
Jelas sekali kalimat sok bermakna di atas menggambarkan sebuah titik penalty pada sebuah lapangan sepak bola (ok ok mungkin gak sejelas itu gambarannya pada kalimat diatas) soalnya gak mungkin ada kayak begitu di kantor kelurahan misalnya kecuali Pak Lurahnya lagi iseng bikin lapangan bola di kantornya. Asli, gak ada kerjaan banget tuh Pak Lurah menghamburkan uang rakyat jelata (ehm... sok idealis nih). Tapi mungkin juga Pak Lurah membangun kantornya di atas lapangan bola yang baru digusur (make sense). Ah sudahlah, gak ada penting-pentingnya ngebahas Pak Lurah, lupain ajah.
Aku disini masih melakukan latihan terakhir sebelum the big game yang dua hari lagi akan aku ikuti di Jakarta. Sebuah pertandingan penentuan (baca: final) antara kesebelasanku melawan Persija-Ateng (Perserikatan Sepakbola Jakarta Agak Tenggara... btw dimana tuh ??) untuk memperebutkan gelar jawara (baca: juara, bukan jagoan atawa centeng musuh Si Pitung jaman Belande dulu) pada Bank Jos Liga Indonesia yang disponsori oleh Bank Jos (bukan Bang Yos a.k.a Bang Sutiyoso tapi Bank Jos sebuah bank milik Bang Joshua seorang mantan artis cilik yang sekarang menjadi konglomerat).
Tidak terasa (ralat... agak terasa sih) sudah 1 tahun aku berada di sini sebagai pemain bola professional (baca: digaji yang hanya cukup untuk makan sama ngontrak rumah tipe 45, lumayan lebih bagus dari RSS ? Rumah Sangat Seadanya). Aku menjadi seorang striker kesebelasan Persekasle (Perserikatan Sepakbola Kabupaten Sleman), sebuah klub sepakbola di kota kelahiranku, Kabupaten Sleman. Yang belum tau Sleman ada dimana, pernah ke Yogya naek pesawat? Nah Bandara Adisucipto ada di Sleman, bukan di Yogya.
Pertandingan kali ini terasa sangat berat untukku karena selain partai 2 hari lagi merupakan partai puncak namun lebih lagi karena lawannya adalah Persija-Ateng yang setahun lalu merupakan klub tempat aku bermain. Ya, setahun lalu sebelum aku memutuskan untuk kembali ke kota asalku.
Aku kembali melihat titik putih itu, namun kali ini tergeletak seonggok bola (pemilihan pronoun yang salah pada kata 'seonggok', pronoun 'sebutir' tampaknya semakin salah. Jangan ditiru karena berdampak buruk pada nilai raport Bahasa Indonesia anda!). Mundur tiga langkah, ancang-ancang, selangkah, dua langkah, tendang, dan... GOL.
Mudah. Tandangan yang sangat mudah (survey yang tidak ketahui sumbernya mengatakan bahwa kemungkinan gol pada sebuah tendangan penalty adalah 85%, so the 15% is bad luck). Selama setahun ini aku selalu melakukan latihan tendangan penalty setelah latihan rutin sore aku lakukan bersama teman-teman klub yang lain. Sayangnya latihan tendangan penalty ini belum pernah terlihat manfaatnya pada pertandingan liga sebab aku tidak pernah mengeksekusi tendangan penalty selama setahun terakhir ini, tidak setelah kejadian itu, kejadian yang menyebabkan aku kembali ke kota kelahiranku dan bergabung dalam Persekasle.
Flashback / D day minus 1 year and 2 days from The Big Game Hujan menghiasi Gelora Bung Karno (kata 'menghiasi' hanya kiasan, jadi jangan menghias kamar anda dengan hujan sebab berdampak buruk bagi kesehatan!). Sepertinya partai final Bank Jos Liga Indonesia tahun ini antara Pesija-Ateng sang juara bertahan melawan Perseatagam (Perserikatan Sepakbola Aceh Tanpa GAM) akan dilangsungkan dengan hiasan hujan (sekali lagi, hujan bukan hiasan kamar! Catet!).
Aku baru saja selesai bersiap-siap di ruang ganti pemain. Menguncir rambut panjangku dengan karet pink kebanggaanku (pink? bangga? Ok I'm a weirdo) lalu berkaca untuk melihat apakah aku sudah tampak ganteng. "Udah siap Joe?" aku dikejutkan oleh pertanyaan Santos teman se-klubku. "Elu Tos? Gue kirain siapa. Ngagetin aja lo. Gak liat apa gue lagi konsen dandan?" "Ah tampanglo Joe! Kayak seleb aja dandan segala. Kasian tuh cermin. Kalo bisa nangis, nangis deh dia setiap hari elo kecengin gak jelas gituh Gak akan jatuh cinta tuh cermin ma elo. Percuma!" "Rese lo Tos! Jangan samain gue ma lo lah. Lo sih mau diapain tetep aja item bluek gitu. Retak kali cermin kalo lo dandan." "Sembarangan lo Joe. Gini-gini banyak yang nge-fans ma gue." "Iye bener tapi dari kampunglo semua tuh. Papua." "Sompret! Udah ah, gak menang gue debat ma elo." "Ih siapa yang debat. Kenyataan lagi!" "Udeh. Udeh. Tuh kita dah dipanggil Si Mister. Mo briefing." "Iye. Bawel! Yuk ah!"
Sejenak aku melirik cermin untuk melihat pungungku sambil ngeloyor keluar untuk briefing. Terlihat tulisan besar berwarna hitam. Nomor 10 terpampang dengan namaku tertulis di atasnya "Soedjono".
Di ruang briefing semua pemain sudah siap mendengarkan wejangan dan pepatah (ralat, maksudnya sepatah dua patah kata) dari Mister Korchev pelatih kami asal Slovakia yang sudah 3 tahun terakhir ini melatih kami dan mengantarkan kami menjadi juara liga selama 2 tahun berturut-turut. Mister Korchev mulai memberikan kata sambutannya untuk menyemangati kami. "Here we are waiting for the 3rd title in a row. There's nothing to fear of. You are a champion. And you will always be. So, act like a champion and beat those loosers out there!" "Yeahh," seluruh pemain berteriak manjawab kobaran semangat dari Mister. Seluruh pemain keluar menuju lapangan dan aku-pun sudah hampir keluar sebelum Mister memanggilku. "Joe!" "Yes Mister," aku menghentikan langkahku lalu berbalik ke arahnya. "You are my best player. My proud. Don’t let me down. One thing I want from you." "..." "Make a score!" "You can count on me, Mister." "I believe you."
Suara bergemuruh menggema si seluruh angkasa Gelora Bung Karno (cieh bahasanya... ) ketika aku keluar dari ruang ganti dan hampir seluruh penonton meng-eluk-elukan sebuah nama. "We want Joe. We want Joe. We want Joe." Saat aku sampai di dalam lapangan seluruh penonton berdiri dan bersorak sambil bertepuk tangan. Sebagian teenager yang tentunya wanita mulai berteriak dan screaming menanggil namaku. "Joe! Joe! I love You! Aaaaaaaaaa!" (kata yang terakhir dilagukan, ehm salah, bukan dilagukan tapi yang jelas kata terakhir tidak layak untuk didengarkan dalam jarak 1 meter dari telinga anda. Women, don't try this at home!)
Aku tenar dengan nama Joe. It's ok, aku tidak keberatan sama sekali mengingat Soedjono nama asliku tidak bisa dibilang cool sama sekali. Dengan kulit putih, tinggi 180 cm, body atletis dengan six pack mengukir perutku (kiasan… kiasan… gak mungkin perutku diukir kayak ukiran Jepara), rambut hitam legam (bayangkan iklan Sunsilk), dan yang pasti puluhan gol yang aku koleksi dan menjadi prestasi yang sulit disaingi menjadikan aku sangat populer di mata semua pecinta sepakbola terutama wanita. Aku layaknya David Backham-nya Indonesia yang dicintai oleh penggemarnya seperti selebritis. Iklan sabun (bukan! Bukan iklan sabun yang itu!), shampoo, parfum, cukur jenggot, deodorant, minuman penambah tenaga, bahkan iklan celana dalam yang aku perankan semakin membuatku terkenal. Walaupun gossip-gossip mulai menerjangku dari mulai kedekatanku dengan seorang penyanyi yang kebetulan janda sampai gossip mengenai kehebatan kakiku yang disebabkan oleh susuk berlian di kakiku, itu semua tidak mengurangi ketenaran namaku bahkan aku terbantu dengan gossip-gossip itu yang membuat aku semakin terkenal dan sering masuk televisi.
Pertandingan dimulai. Disini, aku yang menyandang gelar kapten sekaligus striker kesebelasan Persija-Ateng mulai mengkomandoi (bukan istilah dalam militer) teman-temanku untuk menekan pertahanan Perseatagam dengan sistem total football yang menjadi ciri khas Persija-Ateng. Menit-menit pertama berjalan alot. Perseatagam yang menggunakan sistem all defence dengan pola 7-2-1 (maen bola ato buat benteng mas?) sangat sulit untuk ditembus pertahanannya. Namun kami tetap melakukan gempuran-gempuran berbahaya yang mengancam Teuku Johar, kiper sekaligus kapten dari Perseatagam sampai hampir babak pertama selesai.
Sambus, sang komentator khusus partai final terus berkoar dengan semangat 45. "Ponirin terpidana, eh maaf maksud saya Ponirin melakukan umpan lambung. Ketengah. Ada Sumardin disana. Sumardin gocek kanan-kiri sambil menari balet. Sumardin lolos dari kepungan Hamid dan Hamad dua kakak beradik. (who cares?) Oper bola kepada Santos. Santos mengedipkan mata ke arah pendukungnya yang asal Papua. (kok sempet ya?) Pendukung Santos memberikan ciuman jauh. Ah hampir saja bola terebut dari Santos oleh Basyir, untung saja Narno segera menoyor Santos yang sibuk bermain dadah-dadahan sama penggemarnya. Santos berlari ke sayap dengan secepat kilat. Lewat satu pemain sayap Perseatagam. Lewat dua. Santos dikawal sweeper. Bukan bodyguard. Tapi badannya gede. Santos melakukan umpan lambung ke tengah. Bola berbelok seperti pisang. Disana ada striker ganteng Joe. Joe melompat. Sebuah tendangan sepeda. (maksudnya bicycle shoot) Dan Goooooooooooool!!! Sebuah gol yang indah dari striker ganteng Joe yang disambut oleh teriakan bergemuruh. Saudara-saudara... gol ini merubah status quo menjadi 1-0 untuk Persija-Ateng."
Babak pertama selesai, kedudukan masih 1-0 untuk Persija-Ateng. Kami kembali keluar untuk bermain di babak kedua setelah 15 menit waktu istirahat selesai. Seperti biasa, teriakan-teriakan 'We want Joe' berubah menjadi sorak-sorai ketika aku memasuki lapangan.
Masih seperti babak pertama, pertahanan all defense dari Perseatagam tetap sulit kami tembus. Dengan memakai kunci cataneccio, defense yang dipopulerkan oleh kesebelasan nasional Italia, mereka sepertinya menunggu serangan balik untuk membuat gol.
30 menit setelah babak kedua berlangsung, kejutan terjadi. Sebuah kesalahan oper pada pemain belakang Persija-Ateng di dekat gawang membuahkan sebuah tendangan pojok. "Tendangan pojok dilakukan oleh Hamid. Ambil ancang-ancang. Melambung ke arah kanan gawang. Hamad kakaknya Hamid menyambut bola dengan kepala. Sundul saja. Kiper Irvan Cahya salah langkah. Dan Gooooooooooool," Sambus masih dengan semangat 45 mengomentari gol balasan yang diciptakan oleh Hamad, pemain tengah Perseatagam kakaknya Hamid. (aduh pake ikut-ikutan Sambus lagi, gak penting banget Hamad kakaknya siapa.)
Sebuah kesalahan fatal yang membuat kedudukan menjadi 1-1 membuat kami cukup panik dan lebih keras menggempur pertahanan Perseatagam. Gagal maning gagal maning. Memang pertahanan Perseatagam terlalu sulit untuk ditembus. Babak kedua sudah masuk ke waktu cedera (baca: injury time), dan sepertinya aku harus melakukan sebuah gebrakan untuk membuat sebuah gol dengan kemampuan drible-ku yang sulit untuk dihadang. Sambus kembali berkomentar ketika aku mulai membawa sendiri bola ke dalam kotak penalty. "Striker ganteng Joe membawa bola. Hamid menghadang. Joe gocek kanan-kiri. Masih belum lewat. Striker ganteng Joe melihat ke atas. Hamid ikutan. Oh rupanya sebuah tipuan. Striker Joe lepas dari hadangan. Joe melesat masuk kotak penalty. Berhadapan langsung dengan kiper Teuku Johar. Hamid mengejar Joe dari belakang. Sliding tackle. Dan Oooooooh striker ganteng Joe tergeletak di dalam kotak penalty. Wasit Kulina dari Bandung meniup peluit dan menunjuk titik penalty. Penalty rupanya Saudara-Saudara."
Aku bangun dari tidurku (masih di lapangan bola, bukan di kamar tidur) kemudian mengambil bola, mengusap-usapnya untuk menghilangkan tanah yang menempel. Aku memegang bola yang basah (karena hujan, inget?) kemudian membawanya dan meletakkannya di titk putih.
"This is it. I'm gonna make a score to win this game," aku berkata dalam hati sementara Sambus mulai melakukan alasan kenapa dia dibayar (ya komentar bukan jualan pisang). "Saudara-saudara kita lihat striker ganteng Joe sudang mengambil ancang-ancang. Dia berlari kecil. Siap menendang bola. Kaki kiri Joe terpeleset Namun kaki kanannya menyentuh bola Bola bergulir pelan ke arah kiper. Secepat kilat Teuku Johar menendang bola lambung langsung ke depan. Bola melambung ke depan menuju kotak penalty Persija-Ateng. Hamad mengejar bola. Bola dikejar Hamad. Sebuah tendangan volley geledek. Dan Gooooooooooooool. Saudara-saudara…. Kedudukan berubah menjadi 2-1 untuk Perseatagam. Dan bersamaan setelah itu wasit meniup peluit panjang.tanda pertandingan selesai." Aku terduduk, tak mampu untuk bergerak. Mataku melihat titik putih di depanku. Dunia seakan sepi, suara gemuruh tak terdengar. Aku masih terdiam, tak mampu bergerak, kepalaku terasa berat kemudian semuanya menjadi gelap.
Back to Present / D day of The Big Game Aku menatap titik putih itu lagi. Titik putih yang sudah lama tidak aku hadapi selama satu tahun ini. Titik putih itu, yang membawa kenangan buruk satu tahun yang lalu, same day, same game, different year. Kenangan buruk kembali melintas. Teringat bagaimana aku menjadi pecundang setelah gagal mengeksekusi tendangan penalty karena sebuah stupid thing, kepeleset. Titik putih itu mengubah karirku, ketenaranku, jalan hidupku. Masih teringat cemooh semua orang yang semula begitu memujaku. Saat itu semua membenciku bahkan 'Ball' sebuah tabloid sepakbola nomor satu di Indonesia memampangkan dengan besar fotoku saat terpeleset pada halaman utamanya dengan judul besar tertulis "Stupid Player of The Year".
Aku menaruh bola di titik putih itu kemudian melihat ke arah pendukungku dari Sleman. Mereka yang masih setia denganku, yang membuatku bisa bangkit kembali sampai bisa berada di sini lagi, di big game ini. Teringat bagaimana seluruh pendukung Persija-Ateng setahun yang lalu mencemooh aku, dan hal itu membuat management Persija-Ateng tidak memperpanjang kontrakku untuk bermain di klub mereka. Aku dibuang seperti sebuah puisi Chairil Anwar,
Aku binatang jalang Dari kumpulan yang terbuang.
Setahun yang lalu aku kembali ke kampung halamanku. Untunglah Persekasle masih mau menerima aku sebagai pemain mereka. Kesempatan dan kepercayaan itu tidak aku sia-siakan. Disini aku, berhasil membawa kesebelasanku mencapai partai final dengan aku sebagai top scorer sementara liga ini. Dan saat ini aku menghadapi kesebelasan yang dulu sempat membuatku terkenal walau akhirnya membuat aku terbuang.
Aku menatap bola itu yang tergeletak diatas titik putih. Saat ini pertandingan yang sama ketat membawa kami ke adu penalty. Score sementara 5-5 sama imbang dan aku dipercaya melakukan eksekusi tendangan penalty yang terakhir. Apabila aku berhasil melakukannya Persekasle akan memenangkan the big game dan menjadi jawara baru. Aku mengambil ancang-ancang. Mengambil nafas panjang. Berlari kecil. Dan ..
Go to The Future / D day plus 2 years and 2 month after The Big Game Bandara Soekarno Hatta Terminal Kedatangan Luar Negeri. Aku menoleh kanan-kiri mencari sesosok wanita, wanita cantik yang merupakan tunanganku. Hari ini aku pulang ke Indonesia setelah 2 tahun menuntut ilmu di Auckland University of New Zealand. Dengan bangga aku pulang kembali ke Indonesia, dengan membawa gelar Bachelor dengan majoring Nuclear Engineering. Tentu saja aku bangga pulang ke Indonesia sebab aku berhasil lulus dengan predikat cum laude dan dalam waktu hanya 2 tahun, lebih cepat 1 tahun dari seharusnya, selain itu aku langsung diterima menjadi asisten dosen di Auckland University, mengajar mata kuliah Nuklir Terapan.
Seminggu lagi adalah hari yang aku tunggu-tunggu, hari dimana aku akan mengucapkan ijab kabul di depan penghulu untuk menjadikan Ranti tunanganku untuk menjadi istriku. Rencananya setelah cuti 1 bulan aku akan kembali ke New Zealand bersama istriku untuk tinggal di Auckland dengan tentu sebelumnya menghabiskan bulan madu di Christchurch, sebuah kota indah di South Island New Zealand. "Hey keledai jangkung!" aku mendengar suara seorang wanita yang aku hafal sebagai suara dari Ranti tunanganku. "Halo kelinci kecilku!" Aku mendatanginya, memeluknya, dan mengecup keningnya. "Sorry. Lama ya nunggunya? Maklum deh, namanya juga Jakarta. Macet." "Gak papa sayang." "Capek ya?" "Lumayan deh. 7 jam di pesawat dari Sydney ke Jakarta." "Lho, kok dari Sydney?" "Transit." "Ooh." "…" "Mamah-Papah udah nunggu tuh di rumah. Kangen katanya." "Ya udah, kita cabs aja yuk!" "Oke deh. Yuk keledai jangkungku." Dan aku menggandengnya sambil tersenyum.
Keledai jangkung. Nama kesayangan yang khusus Ranti berikan untukku. Aku cinta nama itu, mungkin karena Ranti yang membuatnya, tapi memang sebenarnya nama itu cocok untukku, sebab hanya keledai dungu yang pernah mengulangi kesalahan bodoh yang sama untuk kedua kalinya, kepeleset saat melakukan tendangan penalty di partai final yang menentukan.
Aku melangkah dengannya, Rantiku, pujaan hatiku, the reason I live for. Dia wanita yang telah menghibur dan membesarkan hatiku, mendukungku, dan menyarankan aku untuk meninggalkan dunia sepakbola dan menjalani kuliah di luar negeri, sebuah impian sempat terkubur sejak aku disilaukan oleh dunia ketenaran sebagai seorang pemain sepakbola merangkap selebritis. Namun dua kejadian memalukan itu membuatku berpikir bahwa sepakbola bukan duniaku dan saatnya untuk mengejar impian yang lain. Saran Rantilah yang mengantarkan aku menjadi sukses seperti ini, walaupun tidak tenar seperti selebritis, namun setidaknya sekarang orang memandangku dengan pandangan berbeda. Bukan pandangan seorang gadis kepada David Beckham pujaannya, namun pandangan kepada seorang pemuda terpelajar yang mempunyai kecerdasan luar biasa dengan prestasi yang membanggakan. Sejujurnya aku masih teringat titik putih itu, namun semuanya sudah lewat. Aku tinggalkan semua kenangan buruk akan titik putih itu sebab aku yang kini telah berubah. Aku, seekor keledai dungu yang kepeleset untuk kedua kalinya saat melakukan tendangan penalty di partai penentuan, The Stupid Man of The Year, hari ini berubah menjadi Bachelor of Nuclear Engineering, asisten dosen Nuklir Terapan di Auckland University, The Brightest Man of The Year.
* * * * *
(Jakarta, 13 Maret 2005, pangerankucing a.k.a Krisna Aditya, menulis lagi karena Vanilla)